Cerita cinta
Aku memandang kalender yang terletak
di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2011, hari ulang tahun perkawinan kami
yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’
lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah
keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban
menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang
lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar
kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah
minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik,
toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan
tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit
ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku
berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang
tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini.
Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat
hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda
dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah
ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar
kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan
romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang
tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap
minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya,
bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian
dari cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’,
aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan
belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah,
pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku
uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai
menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga
tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami
sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya
dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri
hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di
tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi.
Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua
sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing
membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah
tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah
mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini
dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi,
begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir
pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak
merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima
lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis,
lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe
laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi
enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan.
Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma
senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima
lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang
ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa
melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling
ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku,
sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’.
Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu
sudah lebih dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah
perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru,
Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya
berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam
seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias
sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil
terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya
untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan
menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai
puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya.
Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang
rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan
waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah
saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku
yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru
saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku
bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan
Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang
tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya
aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku
kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen,
mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga
kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik.
Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras.
Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat
kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang
dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang
dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun
perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya
waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah
tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun
dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya,
sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat
tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku
untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku
untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kdsetiaan?
Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku
bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak
pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya
kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool
seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa
uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah.
Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu
benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru
dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres
karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya?
Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di
beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul
dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini,
mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur
jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi
dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya,
bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena
kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku
bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang
romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan
untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku
menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja
makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam
sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang.
Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat,
tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya
Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat
mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan
kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan
kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka.
Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
Lewat kata yang tak sempat
disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya
tiada
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana
Dengan kata yang tak sempat
diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya
abu. *
0 komentar:
Posting Komentar